Selasa, 22 Oktober 2013

Pemilu, Solusi Atau Masalah Baru?


Pada bulan April 2014 masyarakat Indonesia akan kembali merayakan pesta demokrasi, pesta demokrasi yang dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia pascahegemoni orde baru. Tahun 2014 tentu menjadi harapan bagi masyarakat Indonesia untuk untuk memilih pemimpin-pemimpin baru dalam menuntaskan kinerja pemerintah saat ini. Pemimpin yang tidak hanya pintar memberikan janji-janji manis akan perubahan dan obral rencana untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, akan tetapi, pemilu 2014 diharapkan menjadi momentum untuk memilih pemimpin yang memiliki komitmen kuat untuk menuntaskan permasalahan-permasalahan bangsa yang saat ini belum terselesaikan secara maksimal.
Namun demikian, masih terbesit dipikiran masyarakat munginkah pemilu 2014 akan benar-benar melahirkan pemimpin yang amanah, sesuai konsep demokrasi (dari, oleh, dan untuk rakyat) atau akan tetap menjadi konsep umum yang hanya menjadi harapan dan cita-cita perubahan bahkan tutup usia menjadi kenangan. Mengutip perkataan Surya Paloh pada Pembekalan Calon Legislatif (Caleg) Partai Nasional Demokrat bahwa saat ini proses demokrasi kental dengan politik transaksional. Untuk menjadi anggota DPR, Bupati, Gubernur dan Presiden tidak lepas dari politik transaksional. Imbasnya adalah orientasi menjadi pemimpin bukan untuk mensejahterakan rakyat, tetapi menguras harta rakyat ditandai dengan kebingunan saat menjadi pemimpin (demam panggung) dan minimnya solusi-solusi konkrit yang mampu ditawarkan untuk meringankan beban masyarakat.
Masyarakat Indonesia juga sempat dikagetkan oleh drama politik di Senayan yang menolak penetapan atau pelantikan Ruhut Sitompul sebagai Ketua Komisi III di DPR RI. Hal memalukan tersebut tentu akan membuat publik semakin bertanya-tanya, Apa yang sebenarnya terjadi? Anggota fraksi yang tidak memahami aturan atau Ruhut Sitompul yang tidak layak menjadi seorang pemimpin?
Dua variabel ini mengindikasikan lemahnya demokrasi di Indonesia. Ketidakakuran anggota dewan tersebut tentu menjadi preseden buruk bagi citra DPR dimata publik. Seharusnya masyarakat dicerdaskan dengan bukti-bukti nyata kinerja positif wakil rakyat, bukan disuguhkan melalui opini-opini pembodohan politik karya wakil rakyat. Ditambah dengan meningkatnya penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para wakil rakyat tersebut, seperti, nonton film porno saat sidang, menjual agama untuk nikmat sesaat (kawin kontrak), hingga tindakan korupsi yang tiap tahun semakin meningkat. Hal ini tentu akan berdampak negatif pada pemahaman masyarakat terhadap kualitas kerja eksekutif, legislatif dan yudikatif di Indonesia.
Seperti yang dikemukakan oleh Aristoteles bahwa Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Namun, kiranya hal itu masih jauh panggang dari api tetapi semakin melegalkan teori tentang negara sekuler yang dikemukakan oleh Agustinus. Menurut Agustinus bahwa negara sekuler dianggap sebagai penyelewengan oleh para penguasa yang arif dan bijaksana sehingga kekuasaan bagaikan keangkuhan dengan berbagai kejahatan. Perkembangan negara sekuler dalam bentuk negara modern dimana penguasa berupaya untuk menggunakan cara paksa menurut kehendak pribadi.
Kompas.com juga sempat memberitakan bahwa kinerja Dewan Perwakilan Rakyat mengantongi rapor merah sepanjang tahun 2012. Hal tersebut membuktikan kinerja lembaga legislatif tidak optimal dalam memperjuangkan aspirasi rakyat. Indikator buruknya kinerja lembaga legislatif tercermin dari empat aspek, yaitu kinerja legislasi, anggaran, pengawasan dan Badan Kehormatan. Untuk itu, partai politik sangat diharapkan mampu melahirkan sosok-sosok pemimpin masa depan yang tidak hanya pintar bertransaksi pada pemilihan umum 2014, namun juga mampu menjadi idola masyarakat yang dibuktikan dengan kualitas kerja dan bukti-bukti nyata bagi pembangunan. Dengan demikian, pascapemilu 2014 rakyat Indonesia tidak lagi khawatir untuk berjalan ditengah malam, membeli sembako dengan harga terjangkau dan yang terpenting tidak khawatir uangnya disalah gunakan (korupsi).
Menggapai cita-cita tersebut tentu tidak dapat dilakukan dalam kurun waktu singkat. Partai politik harus kembali pada trah dan cita-cita awal pembentukannya. UUD 1945 telah menjamin kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat sebagai aspek penting hak asasi manusia (HAM). Undang-Undang tentang partai politik pun menuntut agar partai politik dapat berperan dalam mewujudkan cita-cita masyarakat dalam melahirkan kader-kader yang memiliki jiwa kepemimpinan matang dan tangguh. Bukan pemimpin-pemimpin instan tanpa ideologi dan konsep keindonesiaan.
Fungsi partai politik salah satunya adalah sebagai sarana rekrutmen dan kaderisasi politik. Mencari, mengajak dan membimbing orang agar aktif dalam kegiatan-kegiatan politik yang berimbas pada perluasan partisipasi politik. Rekrutmen dan kaderisasi politik bukan hanya menncari dan menyeleksi orang-orang yang telah piawai dalam berpolitik, namun juga melakukan pendidikan politik agar kader benar-benar siap berjuang atas nama rakyat.
Hal miris terjadi saat ini bahwa proses kaderisasi atau pendidikan politik tidak berjalan maksimal, yang berdampak pada kebuntuan partai-partai politik dalam melahirkan pemimpin-pemimpin bangsa. Apabila partai politik tidak mampu menciptakan formulasi khusus dalam menutaskan kebuntuan permasalahan tersebut, maka dapat dipastikan bahwa Pemilu 2014 hanya akan menjadi ritual lima tahunan tanpa ada manfaat bagi masyarakat. Maka saatnya bagi bangsa Indonesia memberikan peluang bagi semua kader bangsa yang bersih untuk dipilih menjadi pemimpin-pemimpin bangsa dan menghukum perilaku-perilaku tidak terpuji agar tidak dipilih kembali. Hal ini untuk memberikan harapan bagi masyarakat agar memanfaatkan momentum Pemilu guna memperbaiki kondisi bangsa melalui kader-kader terbaik anak bangsa yang bersih untuk mencapai keadaan yang lebih baik.
Berikut adalah beberapa nama yang akan maju di Pemilu 2014 baik yang sudah mendeklarasikan dirinya sendiri maupun yang masih diperkirakan akan maju oleh beberapa orang:
Telah Deklarasi
·       Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Golongan Karya (GOLKAR)
·       Hary Tanoesoedibjo, Pengusaha Indonesia (berpasangan dengan Wiranto)
·    Hatta Rajasa, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN)
·        Prabowo Subianto, Mantan Panglima Kostrad dan Calon Wakil Presiden 2009
·        Sutiyoso, Mantan Gubernur DKI Jakarta
·   Wiranto, Mantan Panglima TNI, Calon Presiden 2004, Calon Wakil Presiden 2009, dan Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA)

Calon Kandidat
·        Agus Martowardojo, Gubernur Bank Indonesia
·        Ani Yudhoyono, Ibu Negara Indonesia
·        Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina
·        Dahlan Iskan, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
·        Djoko Suyanto, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan
·        Emirsyah Satar, Direktur Utama Garuda Indonesia
·        Endriartono Sutarto, Mantan Panglima TNI
·        Farhat Abbas, Pengacara
·        Gita Wirjawan, Menteri Perdagangan
·        Irman Gusman, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
·        Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta
·        Jusuf Kalla, Mantan Wakil Presiden
·        Megawati Soekarnoputri, Mantan Presiden
·        Mohammad Mahfud, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK)
·        Pramono Edhie Wibowo, Panglima Angkatan Darat
·        Rhoma Irama, Musisi Dangdut dan Aktor
·        Rizal Ramli, ahli ekonomi dan politisi Indonesia
· Sri Mulyani Indrawati, Direktur Pelaksana Bank Dunia, Mantan Menteri Keuangan
·        Surya Paloh, Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (NASDEM)








Tanggapan:
Belakangan ini petinggi Negara sering mempertontonkan perdebatan yang sebenarnya tidak terlalu penting untuk diperdebatkan yang seharusnya bisa menyelesaikan masalah malah memperburuk suasana. Sebaliknya, perdebatan mereka itu malah memperlihatkan jeleknya tingkah para petinggi negara yang tempramen, tidak sopan, tidak beradat. Pemilu juga seperti tidak lagi melahirkan pemimpin yang beradab tapi malah pemimpin yang jika melakukan kesalahan tidak merasa salah dan berpikiran hukum di Indonesia dapat dibeli. Seharusnya para koruptor seperti itu dihukum mati agak ada rasa takut melakukan hal itu. Seharusnya para pemimpin harus mengutamakan mensejahterakan rakyatnya dengan tanpa adanya maksud lain.

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar